Tugas Terstruktur: Dosen Pengampu :
Study Al-Qur’an Asmuri. M.Ag.
“QIRA’AT
AL-QUR’AN”
Oleh :
NURHABIBAH NASUTION
(11411200427)
SRI
WAHYUNI (11411200019)
Kelompok : 4
Kelas :
PAI SLTP/SLTA 3C
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUSKA RIAU
PEKANBARU
2015
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya penyusun menyelesaikan tugas mandiri makalah “QIRA’AT AL-QUR’AN ” dalam waktu ini.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas terstruktur
yang diberikan oleh
Maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai salah satu panduan
mahasiswa dan mahasiswi khususnya di
dalam mata kuliah STUDI QUR’AN.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan, baik dari segi pengetikan, maupun materi yang di
sajikan. oleh sebab itu, saran dan kritik dari semua pihak yang sifatnya
membangun sangat di harapkan.
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang memerlukannya. Tidak lupa pula penyusun haturkan
permohonan maaf sebesar-besarnya apabila
dalam penyusunan makalah ini terdapat
kata-kata yang tidak berkenan di hati pembaca dan tidak sesuai, karena penyusun
hanya manusia biasa dan kesempurnaan hanya milik Allah.
Pekanbaru,06 November2015
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR ................................................................. i
DAFTAR
ISI ................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................... 2
1.3. Tujuan ...................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Qira’at Al-Qur’an ................................................... 3
2.2. Bentuk-Bentuk Perbedaan Bacaan .......................................... 4
2.3. Latar Belakang Timbulnya
Perbedaan Qira’at.......................... 7
2.4. Syarat-Syarat Qira’at Sahih...................................................... 10
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan .............................................................................. 11
3.2 Saran ......................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 12
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Qira’at al-Qur’an disampaikan serta diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
kepada para sahabatnya sesuai dengan wahyu yang diterimanya dari malaikat
Jibril. Selanjutnya para sahabat menyampaikan dan mengajarkan kepada para
tabi’in dan para tabi’in pun menyampaikan serta mengajarkannya kepada para
tabi’ tabi’in dan demikian seterusnya dari generasi ke genarisi berikutnya.
Qira’at al-Qur’an yang dikenal dan dipelajari oleh kaum muslimin sejak zaman
Nabi hingga sekarang ternyata tidak hanya satu macam versi qira’at sebagaimana
yang terbaca dalam mushaf yang dimiliki umat Islam sekarang.
Qira’at memiliki berabagi
versi qira’at lain yang juga bersumber dari Nabi Muhammad SAW. Sehinggga
permasalahan perbedaan qira’at ini menjadi pembicaraan sebagian masyarakat
Islam.Berbagai macam cara baca al-Quran diajarkan kepada masyarakat Islam
sahabat-sahabat besar seperti Abdullah bin Masud, Ubai bin Ka’ab, Abu Darda’,
dan Zaid bin Tsabit adalah generasi pertama. Abdullah bin Abbas, Abdul Aswad
Dualli, Al-Qomah bin Qois, Abdullah bin Said, Aswad bin Yazid, Abu Abdirrahman
Sulami dan Masruq bin Ajda’ adalah generasi kedua. Hingga kemudian mereka
melahirkan generasi ketiga sampai kedelapan. Sejak saat itulah penyusunan
qira’at dimulai dan setelah itu tujuh orang qari’ ditentukan
Qira’at merupakan cabang ilmu tersendiri dalam ulum al-Qur’an. Tidak banyak
orang yang tertarik dengan ilmu qira’at hal itu dikarenakan ilmu ini memang
tidak berhubungan langsung dengan kehidupan dan muamalah manusia sehari-hari
tidak seperti ilmu fiqih, hadits, dan tafsir. Ilmu Qira’at tidak mempelajari
masalah-masalah yang berkaitan dengan halal-haram atau hukum-hukum tertentu.
Namun, ilmu qira’at mempelajari manhaj (cara, metode) masing-masing imam
qurra’ sab’ah atau ‘asyaroh dalam membaca al-Qur’an.
Dalam kita membaca al-Qur’an dalam satu qira’at diperlukan
penguasaan cara membaca al-Qur’an dan penguasaan dalam pengucapan lafadz-lafadz
tertentu dalam al-Qur’an secara bersamaan. Karen jika hanya menguasai salah
satunya saja kemudian membaca al-Qur’an dengan Qira’at tertentu akan kacau
jadinya. Biasanya orang yang membaca dengan qira’at syaratnya harus berguru
langsung dengan syeikh qira’at untuk menghindari terjadinya kesalahan.
1.2. Rumusan Masalah
a. Pengertian qira’at al-qur’an ?
b. Latar belakang timbulnya
perbedaan qira’at ?
c. Macam qira’at
Al-Qur’an ?
1.3. Tujuan Penulisan
Sebagai bentuk pengetahuan tentang
qira’at dalam al-qur’an dan mengetahui macam-macam serta pengaruh qira’at dalam
huku islam.
BAB II
PEMBAHASAN
QIRA’AT AL-QUR’AN
2.2. Pengertian Qira’at Al-Qur’an
Kata qira’at jamak dari qara’ah. Ia merupakan mashdar
dari dari kata qara’a, yanh berarti membaca. Maka Qira’ah secara
harfiah berarti bacaan, dan ilmu qira’at berarti ilmu tentang bacaan.
Secara istilah, ilmu qira’at berarti suatu ilmu atau
pengetahuan yang membahas tentang cara membaca Al-Qur’an. Menurut Muhasyin,
qira’at adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang cara menuturkan atau
menyampaikan kata-kata (kalimat) Al-Qur’an, baik yang disepakati maupun yang
diperbedakan sesuai dengan jalan orang yang menukilkannya.
Defenisi di atas menggambarkan bahwa Al-Qur’an, sebagai kitab yang
datang dari Allah mempunyai cara tersendiri dalam membacanya, ia tidak sama
dengan buku-buku lainnya; ia mempunyai tempat waqaf dan pengulangan
bacaan, ia mempunyai ketentuan idgham, mad dan lain sebagainya yang
terangkum dalam suatu kajian yang disebut dengan ilmu tajwid.
Kadang kala suatu kata yang terdapat dalam Al-Qur’an dibaca lebih
dari satu cara, sesuai dengan yang pernah diajarkan Nabi. Nabi menegaskan:
أُنْزِلَ اْلقُرْآنَ عَلَ سَبْعَةِ أحْرُفِ
Al-Qur’an diturunkan atas tujuh huruf.
Kebolehan membaca Al-Qur’an dengan berbagai cara adalah suatu
kelapangan yang Allah berikan kepada umat Islam, terutama orang Arab pada masa
Al-Qur’an diturunkan. Sebab mereka mempunyai dialeg atau lahjah yang
berbeda antara satu suku denagn suku lainnya. Suatu ungkapan yang mudah
diucapkan oleh seseorang, mungkin bagi orang lainnya sulit. Maka untuk
memberikan kemudahan, Rasulullah membolehkan membaca Al-Qur’an sesuai dengan
lahjah yang ia kuasai. Akan tetapi, semua ini harus berdasarkan atas petunjuk
Nabi. Dengan demikian orang sekarang tidak boleh membaca Al-Qur’an sesuai
denagn kehendaknya, kecuali ia tidak mampu membaca lafal tertentu. Misalnya,
disebabkan oleh halangan pada lidah atau gigi yang tidak bisa diubah.
Membaca Al-Qur’an dengan berbagai
bentuk bacaan, seperti yang diajarkan oleh imam qari’ yang diterima dari
Nabi, haruslah melalui musyafahah (diterima langsung). Artinya walaupun
secara teoretis orang dapat menguasai bentuk bacaan melalui buku-buku yang ia
pelajari, namun ia tidak boleh membaca seperti yang disebutkan dalam buku
tersebut. Jadi seseorang hanya boleh membaca Al-Qur’an dengan menggunakan qira’at
yang ia pelajari dari gurunya secara talaqqi dan musyafahah.
Karena bacaan itulah yang pasti dan jelas dengan melalui pendengaran.
Menurut Az-Zarqani, qira’at adalah suatu mazhab
yang
dianut oleh seorang imam yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan
al-Qur’an al karim serta disepakati riwayat dan jalur-jalurnya,
baik perbedaan dalam pengucapan huruf maupun dalam pengucapan lafalnya.
Definisi ini mengandung tiga unsure
pokok. Pertama qira’at dimaksud menyangkut bacaan ayat-ayat. Kedua cara bacaan
yang dianut dalam dalam satu mazhab qira’at didasarkan atas riwayat dan bukan
atas qiyas dan ijtihad. Ketiga perbedaan qira’at bias terjadi dalam pelafalan
huruf dan dalam berbagai keadaan.
Ini sesuai dengan hadis nabi SAW.
yang artinya:
“sesungguhnya
Al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf (cara bacanya) maka bacalah (menurut)
makna yang engkau anggap mudah”
Menurut Ibnu Al-Jazari, qira’at adalah
pengetahuan tentang cara-cara melafalkan kalimat-kalimat al-Qur’an dengan membangsakan kepada penukilnya.
2.2. Bentuk-Bentuk Perbedaan Bacaan
Ayat Al-Qur’an, pada kata atau lafal
tertentu, dibaca dengan berbagai bentuk bacaan. Para imam qari’ –sesuai
dengan apa yang mereka riwayatkan dari Nabi- berbeda dalam membacanya.
Perbedaan itu meliputi hal-hal sebagai berikut.
a)
Penambahan
kata dalam suatu qira’at sedang qira’at yang lain kata itu tidak
ada. Hal ini banyak terdapat dalam qira’at syadz, seperti yang terdapat
dalam Surah An-Nisa’ ayat 12:
وَاِنْ كَا نَ رَجُلٌ يُّوْرَثُ كَلٰلَةً اَوِ
مْرَاَةٌ وَّلَهؐٓ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُ سُ
Said
ban Abi Waqas dari kalangan salaf menambahkan kata مِنْ أم setelah kata أختsehingga ayat
itu dibaca dengan:
وَاِنْ كَا نَ رَجُلٌ يُّوْرَثُ كَلٰلَةً اَوِ
مْرَاَةٌ وَّلَهؐٓ أَخٌ
أَوْ أُخْتٌ مِنْ أم فَلِكُلِّ وَحِدٍ مِنْهُمَا آلسُّدُ سُ
b)
Menggunakan
kata yang berbeda. Artinya dalam qira’at, menggunakan suatu kata
sedangkan dalam qira’at lainnya digunakan kata yang lain pula. Hal ini,
misalnya terdapat dalam firman Allah Surah Al-Ma’idah ayat 38:
وَاُ لسَّارِقُ وَاُلسَّارِقَةُ فَ اُقْطَعُوَا أَيْدِ يَهُمَا
Diriwayatkan
dari Jabir bahwa Ibnu ma’ud mengganti kataأَيْدِ يَهُمَا dalam ayat ini dengan أَيْمَا نَهُمَا,sehinggan yat itu
dibaca:
وَاُلسَّارِقُ وَاُلسَّارِقَةُ فَاُقْطَعُوَا أَيْمَا نَهُمَا
c)
Mendahulukan
satu kata denagn kata yang lain, seperti Surah Al-Baqarah ayat 279:
وَاِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَ لِكُمْ لَا تَظْلِمُوْنَ وَلَا تُظْلَمُوْنَ
Pada
umumnya ahli qira’at sepakat membacanya seperti bacaan diatas. Akan
tetapi, dalam sebuah qira’at syadz, ayat itu dibaca denagan mendahulukan
kataلَاتُظْلَمُوْنَ
sehingga ayat itu dibaca dengan:
وَاِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَ لِكُمْ لَا تَظْلِمُوْنَ وَلَا تُظْلَمُوْنَ
d)
Menggunakan huruf yang berbeda, yaitu suatu
qira’at berbeda denagn qira’at lainnya dalam persoalan huruf yang
digunakan dalam suatu kata. Hal ini banyak terdapat dalam Al-Qur’an, seperti
kata تَعْمَلُوْنَ dengan menggunakan ت di awal
kata. Ada di antara ahli qira’at yang membacanya تَعْمَلُوْنَ dengan menggunakan ي. Di
antaranya terdapat dalam Surah Al-Baqarah ayat 74, 85, dan 144. Contoh lain dapat dilihat pada kata نُنشِزُهَاyang terdapat
dalam surah Al-Baqarah ayat 259, yaitu:
وَانْظَرْ ٳِلَىٰ حِمَارِكَ وَلِنَجْعَلَكَ ءَايَةٌ لِّلنٌاسِ وَاٌنظُرْٳِلَى
اًلْعِظَامِ كَيْفَ نُنشِزُهَا
Kata نُنشِزُهَا dalam ayat di atas diaca oleh sebagian ahli qira’at نُنشِرُهَا dengan mengganti hurufز dengan ر . Ahli qira’at yang membaca dengan menggunakan ر adalah Ibnu Katsir, Nafi, Abu Amr,
dan Ya’qub. Para imam qari’ selain mereka membacanya نُنشِزُهَا dengan menggunakan ز.
e)
Menggunakan
harakat yang berbeda, seorang qari’ membaca satu huruf dengan harakat
fathah, misalnya, sedangkan yang lain mebacanya dengan kasrah,
sebagai contoh dapat dilihat pada kata آَرْجُلِكُمْ dalam surah Al-Maidah
ayat 6:
يَآَ يُهَا
اَلَّذِينَ ءَامَنُوَا آِذَا قُمْتُمْ اِلَى اَلصَّلَوٰةِ فَاُغْسِلُواوُجُوهَكُمْ
وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى اُلْمَرَافِقِ وَاُ مْسَحُوا بِرُءُسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى
اُلْكَعْبَيْنِ
Ibnu
Katsir, Abu Amr, Hamzah, dan ‘Assim membacanya اَرْجُلَكُمْ,dengan kasrah lam.
Contoh lain dapat dilihat pada kata لِلسُّحْتِ yang terdapat dalam
surah Al-Maidah ayat 42. Ibnu Katsir, Abu Amr, Al-Kusa’I, dan Ya’qub membacanya
لِلسُّحُتِ dengan dhammah “ha”, sedangkan
qira’at lain membacanya لِلسُّحْتِ dengan
sukun ha’.
f)
Menggunakan
bentuk kata yang berbeda. Semua qira’at membaca satu lafal dengan
menggunakan kata yang sama, tetapi bentuk (shigat)nya berbeda. Hal ini,
misalnya terlihat pada penggunaan kata مساجدyang terdapat
dalam surah At-Taubah ayat 17, yaitu:
مَاكَا نَ لِلْمُشْرِكِينَ آَن يَعْمُرُوا مَسَٰجِدَ اَللهِ شَهِدِينَ
عَلَىّٰ آَنفُسِهِم بِاَ لْكُفْرِ
Ibnu
Katsir, Abu Amr, dan Ya’qub membacanya dengan مَسْجِدَ اَللهِ yaitu dalam bentuk mufrad (tunggal). Sedangkan qira’at
lain membacanya مَسَاجِدَ اَللهِ, yaitu dalam bentuk jamak. Akan tetapi, para ahli qira’at
tidak berbeda mengenai kata مَسَاجِدَ dalam ayat 18 surah yang sama; semua mereka
membacanya dalam bentuk jamak, yaitu مَسَاجِدَ
اَللهِ.
g)
Perbedaan
dalam menentukan bunyi lafal, seperti membaca kata الصَّلَاةُ; qira’at warasy
membaca huruf “lam” yang terdapat dalam kata tersebut dengan tebal (tafkhim),
sebagaimana membaca “lam” pada lafal jalalah. Sedangkan qira’at
lainnya membacanya dengan ringan (tarqiq). Demikian pula bunyi lafal adh-dhuha,
misalnya, sebagian qira’at membaca “ha” pada kata tersebut dengan
harakat fathah secara sempurna dan sebagian yang lain membacanya antara
harakat fathah dan kasrah (imalah) sehingga terdengan adh-dhuhe.[1]
2.3. Latar Belakang Timbulnya perbedaan Qira’at
Al-qur’an memiliki makna sebagai bacaan, namun
dalam perihal membaca al-qur’an ini memiliki kesukaran pada setiap pembaca
dalam keadaan. Dengan demikian timbulah ilmu qira’at yang mana qira’at sebenarnya telah muncul semenjak Nabi SAW
masih ada walaupun tentu saja pada saat itu qira’at bukan merupakan
sebuah disiplin ilmu. Ada beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi diatas :
Pertama : Suatu ketika ’Umar bin
Al-Khaththab berbeda pendapat dengan Hisyam bin Hakim ketika membaca ayat
al-Qur’an. ’Umar tidak puas terhaap bacaan Hisyam sewaktu ia membaca surat
Al-Furqan. Menurut ’Umar, bacaan Hisyam tidak benar dan bertentangan dengan apa
yang diajarkan Nabi kepadanya. Namun, Hisyam menegaskan pula bahwa bacaannya
juga berasal dari Nabi. Seusai shalat, Hisyam diajak menghadap Nabi seraya
melaporkan peristiwa diatas. Nabi menyuruh Hisyam mengulangi bacaannya sewaktu
shalat tadi. Setelah Hisyam melakukannya, Nabi bersabda :”Memang begitulah
Al-Qur’an diturunkan, Sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf,
maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu”
Kedua : Di dalam riwayatnya, Ubai pernah bercerita : ”Saya
masuk ke Masjid untuk mengerjakan shalat, kemudian datanglah seseorang dan
membaca surat An-Nahl, tetapi bacaannya berbeda dengan bacaan saya. Setelah
selesai, saya bertanya, ”Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu?” Ia
menjawab, ”Rasulullah SAW”. Kemudian, datanglah seseorang yang mengerjakan
shalat dengan membaca permulaan surat An-Nahl [16], tetapi bacaannya berbeda
dengan bacaan saya dan bacaan teman tadi. Setelah shalatnya selesai, saya
bertanya,” Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu ? ”Ia menjawab,
”Rasulullah SAW”. Kedua orang itu lalu saya ajak menghadap Nabi. Setelah saya
sampaikan masalah ini kepada Nabi, beliau meminta salah satu dari kedua orang
itu membacakannya lagi surat itu. Setelah bacaannya selesai, Nabi bersabda,
Baik. Kemudian, Nabi meminta kepada yang lain agar melakukan hal yang sama. Dan
Nabi pun menjawabnya baik”.
Selanjutnya periodesasi qurra’ adalah sejak zaman sahabat sampai
dengan masa tabi’in. Orang-orang yang menguasai Al-Qur’an ialah yang
menerimanya dari orang-orang yang dipercaya dan dari imam ke imam yang akhirnya
berasal dari Nabi. Sedangkan mushaf-mushaf tersebut tidaklah bertitik dan
berbaris, dan bentuk kalimat didalamnya mempunyai beberapa kemungkinan berbagai
bacaan. Kalau tidak, maka kalimat itu harus ditulis pada mushaf dengan satu
wajah yang lain dan begitulah seterusnya. Tidaklah diragukan lagi bahwa
penguasaan tentang riwayat dan penerimaan merupakan pedoman dasar dalam bab qira’ah
dan Al-Qur’an. Kalangan sahabat sendiri dalam pengambilannya dari Rasul
menggunakan sara berbeda-beda. Ada yang membaca dengan satu huruf. Bahkan, ada
yang lebih dari itu. Kemudian mereka tersebar keseluruh penjuru daerah.
Kebijakan Abu Bakar Siddiq yang tidak mau memusnahkan mushaf-mushaf lain
selain yang telah disusun Zaib bin Tsabit, seperti mushaf yang dimiliki Ibn
Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari, Miqdad bin amar, Ubay bin Ka’ab, dan Ali bin Abi
Thalib, mempunyai andil besar dalam kemunculan qiraat yang kian beragam.
Perlu dicatat bahwa mushaf-mushaf itu tidak berbeda dengan yang disusun Zaid
bin Tsabit dan kawan-kawannya, kecualai pada dua hal saja, yaitu kronologi
surat dan sebagian bacaan yang merupakan penafsiran yang ditulis dengan lahjah
tersendiri karena mushaf-mushaf itu merupakan catatan pribadi mereka
masing-masing.
Adanya mushaf-mushaf itu disertai dengan penyebaran para qari’ ke berbagai
penjuru, pada gilirannya melahirkan sesuatu yang tidak diinginkan, yakni timbulnya
qiraat yang semakin beragam. Lebih-lebih setelah terjadinya transformasi
bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsa-bangsa bukan Arabin
sehingga pada akhirnya perbedaan qiraat itu sudah pada kondisi
sebagaimana yang disaksikan Hudzaifah Al-Yamamah dan yang kemudian
dilaporkannya kepada ’Utsman.
Ketika mengirim mushaf-mushaf keseluruh penjuru kota, khalifah
Utsman r.a. mengirimkan pula para sahabat yang memiliki cara membaca tersendiri
dengan masing-masing mushaf yang diturunkan. Setelah para sahabat berpencar
keseluruh daerah dengan bacaan yang berbeda itu, para tabi’in mengikuti mereka
dalam hal bacaan yang dibawa oleh para sahabat tersebut. Dengan demikian,
beraneka-ragamlah pengambilan para tabi’in, sehingga masalah ini menimbulkan
imam-imam Qari’ yang masyhur yang berkecimpung didalamnya, dan
mencurahkan segalanya untuk qiraat dengan memberi tanda-tanda serta
menyebarluaskannya.
Tatkala para qori pada masa tabi’iin yaitu pada awal abad II H
tersebar ke berbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan qira’at
gurunya daripada mengikuti qiraat imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at
tersebut diajarkan turun-temurun dari guru ke guru, sehingga sampai kepada
imam-imam qira’at, baik yang tujuh, sepuluh, atau yang empat belas.
Imam-Imam qira’at bekerja keras sesuai dengan kemampuan yang
dimilikinya sehingga bisa membedakan antara
bacaan yang benar dan yang salah.
Mereka mengumpulkan qira’at, mengembangkan wajah-wajah dan dirayah.
Sesudah itu para Imam menyusun kitab-kitab mengenai qira’at. Orang
pertama kali menyusun qira’at dalam satu kitab adalah Abu Ubaidillah
al-Qasim bin Salam. Ia telah mengumpulkan qiraat sebanyak kurang lebih 25
Macam. Kemudian menyusul imam-imam lainnya. Diantara mereka, ada yang
menetapkan 20 macam. Ada pula yang menetapkan dibawah bilangan itu. Persoalan
qiro’at terus berkembang sampai masa Abu Bakar Ahmad bin Abbas bin Mujahid yang
terkenal dengan nama ibn Mujahid. Dialah orang yang meringkas menjadi tujuh
macam qira’at yang disesuai dengan tujuh imam qori’. Berkat jasanya dapat diketahui
mana qira’at yang dapat diterima dan mana yang ditolak.[2]
2.4. Syarat-Syarat
Qira’at Sahih
Suatu bacaan dianggap sahih dan boleh diikuti haruslah memenuhi tiga
syarat yaitu:
1.
Bacaan
itu sesuai dengan salah satu Mushaf Utsmani, tidak boleh bertentangan
dengan mushab tersebut.
2.
Diterima
dan sampai kepada kita secara mutawatir. Ini menurut ahli usul, muhadditsin,
dan mazahib al-arba’ah. Menurut imam lainnya, qira’at yang tidak
mutawatir tetapi sahih boleh diikuti.
3.
Sesuai
dengan bahasa Arab. Artinya, bacaan itu tidak boleh bertentangan dengan bahasa
Arab.
Apabila suatu qira’at
telah memenuhi syarat-syarat ini, maka qira’at itu dianggap benar atau sahih
dan boleh diikuti, bahkan tidak boleh diingkari. Akan tetapi jika ada syarat
ini yang kurang maka qira’atnya dianggap tidak sahih dan tidak boleh
diikuti.[3]
BAB
III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Kata qira’at jamak dari qara’ah. Ia merupakan mashdar
dari dari kata qara’a, yanh berarti membaca. Maka Qira’ah secara
harfiah berarti bacaan, dan ilmu qira’at berarti ilmu tentang bacaan.
Secara istilah, ilmu qira’at berarti suatu ilmu atau
pengetahuan yang membahas tentang cara membaca Al-Qur’an. Menurut Muhasyin,
qira’at adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang cara menuturkan atau
menyampaikan kata-kata (kalimat) Al-Qur’an, baik yang disepakati maupun yang
diperbedakan sesuai dengan jalan orang yang menukilkannya.
Membaca Al-Qur’an dengan berbagai
bentuk bacaan, seperti yang diajarkan oleh imam qari’ yang diterima dari
Nabi, haruslah melalui musyafahah (diterima langsung). Artinya walaupun
secara teoretis orang dapat menguasai bentuk bacaan melalui buku-buku yang ia
pelajari, namun ia tidak boleh membaca seperti yang disebutkan dalam buku
tersebut. Jadi seseorang hanya boleh membaca Al-Qur’an dengan menggunakan qira’at
yang ia pelajari dari gurunya secara talaqqi dan musyafahah.
Karena bacaan itulah yang pasti dan jelas dengan melalui pendengaran.
3.2.Saran
Dengan sangat menyadari bahwa
makalah kami masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu kami menyarankan kepada pembaca untuk memberikan sumbang saran serta kritikan
dalam memperbaiki makalah kami untuk yang akan dating.
DAFTAR PUSTAKA
http://ukhuwahislah.blogspot.co.id/2013/06/makalah-qiroat-al-qur’an.html
Kadar M Yusuf,Studi Al-Qur’an ,Jakarta: Amzah,2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar