Kamis, 08 Desember 2016

makalah Qira'at al-Qur'an



Tugas Terstruktur:                                                              Dosen Pengampu            :
Study Al-Qur’an                                                                               Asmuri. M.Ag.

 “QIRA’AT AL-QUR’AN”
Oleh :
 NURHABIBAH NASUTION (11411200427)
SRI WAHYUNI (11411200019)
Kelompok : 4
Kelas :
PAI SLTP/SLTA 3C
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUSKA RIAU
PEKANBARU
2015

KATA PENGANTAR
                                                    
Puji Syukur kehadirat  Tuhan Yang  Maha Esa, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penyusun menyelesaikan tugas mandiri makalah “QIRA’AT AL-QUR’AN dalam waktu ini.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas terstruktur yang diberikan oleh
Maksud dan tujuan dari penyusunan makalah  ini adalah sebagai salah satu panduan mahasiswa dan mahasiswi  khususnya di dalam mata kuliah STUDI QUR’AN.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan, baik dari  segi pengetikan, maupun materi yang di sajikan. oleh sebab itu, saran dan kritik dari semua pihak yang sifatnya membangun sangat di harapkan.
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. Tidak lupa pula penyusun haturkan permohonan maaf  sebesar-besarnya apabila dalam penyusunan  makalah ini terdapat kata-kata yang tidak berkenan di hati pembaca dan tidak sesuai, karena penyusun hanya manusia biasa dan kesempurnaan hanya milik Allah.


                                                        
                                                                                         Pekanbaru,06 November2015



                                                                                                        Penulis




                                                                        i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................. i
DAFTAR ISI  ................................................................................ ii
BAB I  PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ......................................................................... 1           
1.2. Rumusan Masalah .................................................................... 2
1.3. Tujuan ...................................................................................... 2
BAB II  PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Qira’at Al-Qur’an ................................................... 3
2.2. Bentuk-Bentuk Perbedaan Bacaan .......................................... 4
2.3. Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at.......................... 7
2.4. Syarat-Syarat Qira’at Sahih...................................................... 10
BAB III  PENUTUP
3.1. Kesimpulan .............................................................................. 11
3.2 Saran ......................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 12


BAB I
PENDAHULUAN


1.1.       Latar Belakang
Qira’at al-Qur’an disampaikan serta diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. kepada para sahabatnya sesuai dengan wahyu yang diterimanya dari malaikat Jibril. Selanjutnya para sahabat menyampaikan dan mengajarkan kepada para tabi’in dan para tabi’in pun menyampaikan serta mengajarkannya kepada para tabi’ tabi’in dan demikian seterusnya dari generasi ke genarisi berikutnya. Qira’at al-Qur’an yang dikenal dan dipelajari oleh kaum muslimin sejak zaman Nabi hingga sekarang ternyata tidak hanya satu macam versi qira’at sebagaimana yang terbaca dalam mushaf yang dimiliki umat Islam sekarang.
 Qira’at memiliki  berabagi versi qira’at lain yang juga bersumber dari Nabi Muhammad SAW. Sehinggga permasalahan perbedaan qira’at ini menjadi pembicaraan sebagian masyarakat Islam.Berbagai macam cara baca al-Quran diajarkan kepada masyarakat Islam sahabat-sahabat besar seperti Abdullah bin Masud, Ubai bin Ka’ab, Abu Darda’, dan Zaid bin Tsabit adalah generasi pertama. Abdullah bin Abbas, Abdul Aswad Dualli, Al-Qomah bin Qois, Abdullah bin Said, Aswad bin Yazid, Abu Abdirrahman Sulami dan Masruq bin Ajda’ adalah generasi kedua. Hingga kemudian mereka melahirkan generasi ketiga sampai kedelapan. Sejak saat itulah penyusunan qira’at dimulai dan setelah itu tujuh orang qari’ ditentukan
Qira’at merupakan cabang ilmu tersendiri dalam ulum al-Qur’an. Tidak banyak orang yang tertarik dengan ilmu qira’at hal itu dikarenakan ilmu ini memang tidak berhubungan langsung dengan kehidupan dan muamalah manusia sehari-hari tidak seperti ilmu fiqih, hadits, dan tafsir. Ilmu Qira’at tidak mempelajari masalah-masalah yang berkaitan dengan halal-haram atau hukum-hukum tertentu. Namun, ilmu qira’at mempelajari manhaj (cara, metode) masing-masing imam qurra’ sab’ah atau ‘asyaroh dalam membaca al-Qur’an.
Dalam kita membaca  al-Qur’an dalam satu qira’at diperlukan penguasaan cara membaca al-Qur’an dan penguasaan dalam pengucapan lafadz-lafadz tertentu dalam al-Qur’an secara bersamaan. Karen jika hanya menguasai salah satunya saja kemudian membaca al-Qur’an dengan Qira’at tertentu akan kacau jadinya. Biasanya orang yang membaca dengan qira’at syaratnya harus berguru langsung dengan syeikh qira’at untuk menghindari terjadinya kesalahan.
 1.2. Rumusan Masalah
a. Pengertian qira’at al-qur’an ?
b. Latar belakang timbulnya perbedaan qira’at ?
c. Macam qira’at Al-Qur’an ?

1.3. Tujuan Penulisan
Sebagai bentuk pengetahuan tentang qira’at dalam al-qur’an dan mengetahui macam-macam serta pengaruh qira’at dalam huku islam.

















BAB II
PEMBAHASAN
QIRA’AT AL-QUR’AN
2.2. Pengertian Qira’at Al-Qur’an
Kata qira’at jamak dari qara’ah. Ia merupakan mashdar dari dari kata qara’a, yanh berarti membaca. Maka Qira’ah secara harfiah berarti bacaan, dan ilmu qira’at berarti ilmu tentang bacaan.
Secara istilah, ilmu qira’at berarti suatu ilmu atau pengetahuan yang membahas tentang cara membaca Al-Qur’an. Menurut Muhasyin, qira’at adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang cara menuturkan atau menyampaikan kata-kata (kalimat) Al-Qur’an, baik yang disepakati maupun yang diperbedakan sesuai dengan jalan orang yang menukilkannya.
Defenisi di atas menggambarkan bahwa Al-Qur’an, sebagai kitab yang datang dari Allah mempunyai cara tersendiri dalam membacanya, ia tidak sama dengan buku-buku lainnya; ia mempunyai tempat waqaf dan pengulangan bacaan, ia mempunyai ketentuan idgham, mad dan lain sebagainya yang terangkum dalam suatu kajian yang disebut dengan ilmu tajwid.
Kadang kala suatu kata yang terdapat dalam Al-Qur’an dibaca lebih dari satu cara, sesuai dengan yang pernah diajarkan Nabi. Nabi menegaskan:
أُنْزِلَ اْلقُرْآنَ عَلَ سَبْعَةِ أحْرُفِ
Al-Qur’an diturunkan atas tujuh huruf.
Kebolehan membaca Al-Qur’an dengan berbagai cara adalah suatu kelapangan yang Allah berikan kepada umat Islam, terutama orang Arab pada masa Al-Qur’an diturunkan. Sebab mereka mempunyai dialeg atau lahjah yang berbeda antara satu suku denagn suku lainnya. Suatu ungkapan yang mudah diucapkan oleh seseorang, mungkin bagi orang lainnya sulit. Maka untuk memberikan kemudahan, Rasulullah membolehkan membaca Al-Qur’an sesuai dengan lahjah yang ia kuasai. Akan tetapi, semua ini harus berdasarkan atas petunjuk Nabi. Dengan demikian orang sekarang tidak boleh membaca Al-Qur’an sesuai denagn kehendaknya, kecuali ia tidak mampu membaca lafal tertentu. Misalnya, disebabkan oleh halangan pada lidah atau gigi yang tidak bisa diubah.
Membaca Al-Qur’an dengan berbagai bentuk bacaan, seperti yang diajarkan oleh imam qari’ yang diterima dari Nabi, haruslah melalui musyafahah (diterima langsung). Artinya walaupun secara teoretis orang dapat menguasai bentuk bacaan melalui buku-buku yang ia pelajari, namun ia tidak boleh membaca seperti yang disebutkan dalam buku tersebut. Jadi seseorang hanya boleh membaca Al-Qur’an dengan menggunakan qira’at yang ia pelajari dari gurunya secara talaqqi dan musyafahah. Karena bacaan itulah yang pasti dan jelas dengan melalui pendengaran.        
Menurut Az-Zarqani, qira’at adalah suatu mazhab  yang dianut oleh seorang imam yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan al-Qur’an al karim serta disepakati riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan dalam pengucapan huruf maupun dalam pengucapan lafalnya.
Definisi ini mengandung tiga unsure pokok. Pertama qira’at dimaksud menyangkut bacaan ayat-ayat. Kedua cara bacaan yang dianut dalam dalam satu mazhab qira’at didasarkan atas riwayat dan bukan atas qiyas dan ijtihad. Ketiga perbedaan qira’at bias terjadi dalam pelafalan huruf dan dalam berbagai keadaan.
Ini sesuai dengan hadis nabi SAW. yang artinya:
sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf (cara bacanya) maka bacalah (menurut) makna yang engkau anggap mudah
        Menurut Ibnu Al-Jazari, qira’at adalah pengetahuan tentang cara-cara melafalkan kalimat-kalimat al-Qur’an dengan membangsakan kepada penukilnya.

2.2. Bentuk-Bentuk Perbedaan Bacaan
Ayat Al-Qur’an, pada kata atau lafal tertentu, dibaca dengan berbagai bentuk bacaan. Para imam qari’ –sesuai dengan apa yang mereka riwayatkan dari Nabi- berbeda dalam membacanya. Perbedaan itu meliputi hal-hal sebagai berikut.
a)      Penambahan kata dalam suatu qira’at sedang qira’at yang lain kata itu tidak ada. Hal ini banyak terdapat dalam qira’at syadz, seperti yang terdapat dalam Surah An-Nisa’ ayat 12:
وَاِنْ كَا نَ رَجُلٌ يُّوْرَثُ كَلٰلَةً اَوِ مْرَاَةٌ وَّلَهؐٓ  أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُ سُ
Said ban Abi Waqas dari kalangan salaf menambahkan kata  مِنْ أم setelah kata  أختsehingga ayat itu dibaca dengan:
وَاِنْ كَا نَ رَجُلٌ يُّوْرَثُ كَلٰلَةً اَوِ مْرَاَةٌ وَّلَهؐٓ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ مِنْ أم فَلِكُلِّ وَحِدٍ مِنْهُمَا آلسُّدُ سُ

b)      Menggunakan kata yang berbeda. Artinya dalam qira’at, menggunakan suatu kata sedangkan dalam qira’at lainnya digunakan kata yang lain pula. Hal ini, misalnya terdapat dalam firman Allah Surah Al-Ma’idah ayat 38:
وَاُ لسَّارِقُ وَاُلسَّارِقَةُ فَ اُقْطَعُوَا أَيْدِ يَهُمَا
Diriwayatkan dari Jabir bahwa Ibnu ma’ud mengganti kataأَيْدِ يَهُمَا dalam ayat ini dengan أَيْمَا نَهُمَا,sehinggan yat itu dibaca:
وَاُلسَّارِقُ وَاُلسَّارِقَةُ فَاُقْطَعُوَا أَيْمَا نَهُمَا

c)      Mendahulukan satu kata denagn kata yang lain, seperti Surah Al-Baqarah ayat 279:

وَاِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَ لِكُمْ لَا تَظْلِمُوْنَ وَلَا تُظْلَمُوْنَ
Pada umumnya ahli qira’at sepakat membacanya seperti bacaan diatas. Akan tetapi, dalam sebuah qira’at syadz, ayat itu dibaca denagan mendahulukan kataلَاتُظْلَمُوْنَ  sehingga ayat itu dibaca dengan:
وَاِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَ لِكُمْ لَا تَظْلِمُوْنَ وَلَا تُظْلَمُوْنَ

d)     Menggunakan huruf yang berbeda, yaitu suatu qira’at berbeda denagn qira’at lainnya dalam persoalan huruf yang digunakan dalam suatu kata. Hal ini banyak terdapat dalam Al-Qur’an, seperti kata تَعْمَلُوْنَ dengan menggunakan ت di awal kata. Ada di antara ahli qira’at yang membacanya تَعْمَلُوْنَ  dengan menggunakan  ي. Di antaranya terdapat dalam Surah Al-Baqarah ayat 74, 85, dan 144. Contoh lain dapat dilihat pada kata  نُنشِزُهَاyang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 259, yaitu:

وَانْظَرْ ٳِلَىٰ حِمَارِكَ وَلِنَجْعَلَكَ ءَايَةٌ لِّلنٌاسِ وَاٌنظُرْٳِلَى اًلْعِظَامِ كَيْفَ نُنشِزُهَا
Kata نُنشِزُهَا dalam ayat di atas diaca oleh sebagian ahli qira’at نُنشِرُهَا dengan mengganti hurufز  dengan ر . Ahli qira’at yang membaca dengan menggunakan  ر adalah Ibnu Katsir, Nafi, Abu Amr, dan Ya’qub. Para imam qari’ selain mereka membacanya نُنشِزُهَا dengan menggunakan ز.

e)      Menggunakan harakat yang berbeda, seorang qari’ membaca satu huruf dengan harakat fathah, misalnya, sedangkan yang lain mebacanya dengan kasrah, sebagai contoh dapat dilihat pada kata آَرْجُلِكُمْ dalam surah Al-Maidah ayat 6:
يَآَ يُهَا اَلَّذِينَ ءَامَنُوَا آِذَا قُمْتُمْ اِلَى اَلصَّلَوٰةِ فَاُغْسِلُواوُجُوهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى اُلْمَرَافِقِ وَاُ مْسَحُوا بِرُءُسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى اُلْكَعْبَيْنِ

Ibnu Katsir, Abu Amr, Hamzah, dan ‘Assim membacanya اَرْجُلَكُمْ,dengan kasrah lam. Contoh lain dapat dilihat pada kata لِلسُّحْتِ yang terdapat dalam surah Al-Maidah ayat 42. Ibnu Katsir, Abu Amr, Al-Kusa’I, dan Ya’qub membacanya لِلسُّحُتِ dengan dhammah “ha”, sedangkan qira’at lain membacanya لِلسُّحْتِ dengan sukun ha’.

f)       Menggunakan bentuk kata yang berbeda. Semua qira’at membaca satu lafal dengan menggunakan kata yang sama, tetapi bentuk (shigat)nya berbeda. Hal ini, misalnya terlihat pada penggunaan kata  مساجدyang terdapat dalam surah At-Taubah ayat 17, yaitu:
مَاكَا نَ لِلْمُشْرِكِينَ آَن يَعْمُرُوا مَسَٰجِدَ اَللهِ شَهِدِينَ عَلَىّٰ آَنفُسِهِم بِاَ لْكُفْرِ

Ibnu Katsir, Abu Amr, dan Ya’qub membacanya dengan مَسْجِدَ اَللهِ yaitu dalam bentuk mufrad (tunggal). Sedangkan qira’at lain membacanya مَسَاجِدَ اَللهِ, yaitu dalam bentuk jamak. Akan tetapi, para ahli qira’at tidak berbeda mengenai kata مَسَاجِدَ   dalam ayat 18 surah yang sama; semua mereka membacanya dalam bentuk jamak, yaitu مَسَاجِدَ اَللهِ.

g)      Perbedaan dalam menentukan bunyi lafal, seperti membaca kata الصَّلَاةُ; qira’at warasy membaca huruf “lam” yang terdapat dalam kata tersebut dengan tebal (tafkhim), sebagaimana membaca “lam” pada lafal jalalah. Sedangkan qira’at lainnya membacanya dengan ringan (tarqiq). Demikian pula bunyi lafal adh-dhuha, misalnya, sebagian qira’at membaca “ha” pada kata tersebut dengan harakat fathah secara sempurna dan sebagian yang lain membacanya antara harakat fathah dan kasrah (imalah) sehingga terdengan adh-dhuhe.[1]

2.3. Latar Belakang Timbulnya perbedaan Qira’at
Al-qur’an memiliki makna sebagai bacaan, namun dalam perihal membaca al-qur’an ini memiliki kesukaran pada setiap pembaca dalam keadaan. Dengan demikian timbulah ilmu qira’at yang mana qira’at sebenarnya telah muncul semenjak Nabi SAW masih ada walaupun tentu saja pada saat itu qira’at bukan merupakan sebuah disiplin ilmu. Ada beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi diatas :
Pertama : Suatu ketika ’Umar bin Al-Khaththab berbeda pendapat dengan Hisyam bin Hakim ketika membaca ayat al-Qur’an. ’Umar tidak puas terhaap bacaan Hisyam sewaktu ia membaca surat Al-Furqan. Menurut ’Umar, bacaan Hisyam tidak benar dan bertentangan dengan apa yang diajarkan Nabi kepadanya. Namun, Hisyam menegaskan pula bahwa bacaannya juga berasal dari Nabi. Seusai shalat, Hisyam diajak menghadap Nabi seraya melaporkan peristiwa diatas. Nabi menyuruh Hisyam mengulangi bacaannya sewaktu shalat tadi. Setelah Hisyam melakukannya, Nabi bersabda :”Memang begitulah Al-Qur’an diturunkan, Sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu”
Kedua : Di dalam riwayatnya, Ubai pernah bercerita : ”Saya masuk ke Masjid untuk mengerjakan shalat, kemudian datanglah seseorang dan membaca surat An-Nahl, tetapi bacaannya berbeda dengan bacaan saya. Setelah selesai, saya bertanya, ”Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu?” Ia menjawab, ”Rasulullah SAW”. Kemudian, datanglah seseorang yang mengerjakan shalat dengan membaca permulaan surat An-Nahl [16], tetapi bacaannya berbeda dengan bacaan saya dan bacaan teman tadi. Setelah shalatnya selesai, saya bertanya,” Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu ? ”Ia menjawab, ”Rasulullah SAW”. Kedua orang itu lalu saya ajak menghadap Nabi. Setelah saya sampaikan masalah ini kepada Nabi, beliau meminta salah satu dari kedua orang itu membacakannya lagi surat itu. Setelah bacaannya selesai, Nabi bersabda, Baik. Kemudian, Nabi meminta kepada yang lain agar melakukan hal yang sama. Dan Nabi pun menjawabnya baik”.
Selanjutnya periodesasi qurra’ adalah sejak zaman sahabat sampai dengan masa tabi’in. Orang-orang yang menguasai Al-Qur’an ialah yang menerimanya dari orang-orang yang dipercaya dan dari imam ke imam yang akhirnya berasal dari Nabi. Sedangkan mushaf-mushaf tersebut tidaklah bertitik dan berbaris, dan bentuk kalimat didalamnya mempunyai beberapa kemungkinan berbagai bacaan. Kalau tidak, maka kalimat itu harus ditulis pada mushaf dengan satu wajah yang lain dan begitulah seterusnya. Tidaklah diragukan lagi bahwa penguasaan tentang riwayat dan penerimaan merupakan pedoman dasar dalam bab qira’ah dan Al-Qur’an. Kalangan sahabat sendiri dalam pengambilannya dari Rasul menggunakan sara berbeda-beda. Ada yang membaca dengan satu huruf. Bahkan, ada yang lebih dari itu. Kemudian mereka tersebar keseluruh penjuru daerah.
Kebijakan Abu Bakar Siddiq yang tidak mau memusnahkan mushaf-mushaf lain selain yang telah disusun Zaib bin Tsabit, seperti mushaf yang dimiliki Ibn Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari, Miqdad bin amar, Ubay bin Ka’ab, dan Ali bin Abi Thalib, mempunyai andil besar dalam kemunculan qiraat yang kian beragam. Perlu dicatat bahwa mushaf-mushaf itu tidak berbeda dengan yang disusun Zaid bin Tsabit dan kawan-kawannya, kecualai pada dua hal saja, yaitu kronologi surat dan sebagian bacaan yang merupakan penafsiran yang ditulis dengan lahjah tersendiri karena mushaf-mushaf itu merupakan catatan pribadi mereka masing-masing.
Adanya mushaf-mushaf itu disertai dengan penyebaran para qari’ ke berbagai penjuru, pada gilirannya melahirkan sesuatu yang tidak diinginkan, yakni timbulnya qiraat yang semakin beragam. Lebih-lebih setelah terjadinya transformasi bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsa-bangsa bukan Arabin sehingga pada akhirnya perbedaan qiraat itu sudah pada kondisi sebagaimana yang disaksikan Hudzaifah Al-Yamamah dan yang kemudian dilaporkannya kepada ’Utsman.
Ketika mengirim mushaf-mushaf  keseluruh penjuru kota, khalifah Utsman r.a. mengirimkan pula para sahabat yang memiliki cara membaca tersendiri dengan masing-masing mushaf yang diturunkan. Setelah para sahabat berpencar keseluruh daerah dengan bacaan yang berbeda itu, para tabi’in mengikuti mereka dalam hal bacaan yang dibawa oleh para sahabat tersebut. Dengan demikian, beraneka-ragamlah pengambilan para tabi’in, sehingga masalah ini menimbulkan imam-imam Qari’ yang masyhur yang berkecimpung didalamnya, dan mencurahkan segalanya untuk qiraat dengan memberi tanda-tanda serta menyebarluaskannya.
Tatkala para qori pada masa tabi’iin yaitu pada awal abad II H tersebar ke berbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti qiraat imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at tersebut diajarkan turun-temurun dari guru ke guru, sehingga sampai kepada imam-imam qira’at, baik yang tujuh, sepuluh, atau yang empat belas.
Imam-Imam qira’at bekerja keras sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya sehingga  bisa   membedakan  antara bacaan  yang  benar dan yang salah.
Mereka mengumpulkan qira’at, mengembangkan wajah-wajah dan dirayah. Sesudah itu para Imam menyusun kitab-kitab mengenai qira’at. Orang pertama kali menyusun qira’at dalam satu kitab adalah Abu Ubaidillah al-Qasim bin Salam. Ia telah mengumpulkan qiraat sebanyak kurang lebih 25 Macam. Kemudian menyusul imam-imam lainnya. Diantara mereka, ada yang menetapkan 20 macam. Ada pula yang menetapkan dibawah bilangan itu. Persoalan qiro’at terus berkembang sampai masa Abu Bakar Ahmad bin Abbas bin Mujahid yang terkenal dengan nama ibn Mujahid. Dialah orang yang meringkas menjadi tujuh macam qira’at yang disesuai dengan tujuh imam qori’. Berkat jasanya dapat diketahui mana qira’at yang dapat diterima dan mana yang ditolak.[2]

2.4. Syarat-Syarat Qira’at Sahih
Suatu bacaan dianggap sahih dan boleh diikuti haruslah memenuhi tiga syarat yaitu:
1.      Bacaan itu sesuai dengan salah satu Mushaf Utsmani, tidak boleh bertentangan dengan mushab tersebut.
2.      Diterima dan sampai kepada kita secara mutawatir. Ini menurut ahli usul, muhadditsin, dan mazahib al-arba’ah. Menurut imam lainnya, qira’at yang tidak mutawatir tetapi sahih boleh diikuti.
3.      Sesuai dengan bahasa Arab. Artinya, bacaan itu tidak boleh bertentangan dengan bahasa Arab.
Apabila suatu qira’at telah memenuhi syarat-syarat ini, maka qira’at itu dianggap benar atau sahih dan boleh diikuti, bahkan tidak boleh diingkari. Akan tetapi jika ada syarat ini yang kurang maka qira’atnya dianggap tidak sahih dan tidak boleh diikuti.[3]
















BAB III
PENUTUP


3.1.Kesimpulan
Kata qira’at jamak dari qara’ah. Ia merupakan mashdar dari dari kata qara’a, yanh berarti membaca. Maka Qira’ah secara harfiah berarti bacaan, dan ilmu qira’at berarti ilmu tentang bacaan.
Secara istilah, ilmu qira’at berarti suatu ilmu atau pengetahuan yang membahas tentang cara membaca Al-Qur’an. Menurut Muhasyin, qira’at adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang cara menuturkan atau menyampaikan kata-kata (kalimat) Al-Qur’an, baik yang disepakati maupun yang diperbedakan sesuai dengan jalan orang yang menukilkannya.
Membaca Al-Qur’an dengan berbagai bentuk bacaan, seperti yang diajarkan oleh imam qari’ yang diterima dari Nabi, haruslah melalui musyafahah (diterima langsung). Artinya walaupun secara teoretis orang dapat menguasai bentuk bacaan melalui buku-buku yang ia pelajari, namun ia tidak boleh membaca seperti yang disebutkan dalam buku tersebut. Jadi seseorang hanya boleh membaca Al-Qur’an dengan menggunakan qira’at yang ia pelajari dari gurunya secara talaqqi dan musyafahah. Karena bacaan itulah yang pasti dan jelas dengan melalui pendengaran.        

3.2.Saran
Dengan sangat menyadari bahwa makalah kami  masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami menyarankan kepada pembaca  untuk memberikan sumbang saran serta kritikan dalam memperbaiki makalah kami untuk yang akan dating.




DAFTAR PUSTAKA

http://ukhuwahislah.blogspot.co.id/2013/06/makalah-qiroat-al-qur’an.html

Kadar M Yusuf,Studi Al-Qur’an ,Jakarta: Amzah,2012


[1] Kadar M Yusuf,Studi Al-Qur’an(Jakarta: Amzah,2012)h.45-50
[2] http://ukhuwahislah.blogspot.co.id/2013/06/makalah-qiroat-al-qur’an.html
[3] Kadar M Yusuf,Op.Cit.h.50
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar